Gus Dur dan Warisan Toleransi: Legalisasi Perayaan Imlek di Indonesia

oleh -511 Dilihat
Gus Dur kabarbaik.co
Karikatur Gus Dur.

KabarBaik.co- Tahun Baru China atau Imlek 2025 jatuh pada hari Rabu, 29 Januari. Sebetulnya, istilah Imlek hanya ada di Indonesia. Di China sendiri memiliki sebutan lain. Tidak dikenal sebagai Imlek.

Lalu, dari mana asal-usul Imlek? Di masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, segala hal yang berbau China dibatasi. Bahkan, cenderung dilarang. Mulai budaya, bahasa, hingga perayaan Tahun Baru China.

Kebijakan tersebut dilatarbelakangi suasana politik. Sikap antikomunis. Presiden Soeharto saat itu melihat kebebasan budaya China sebagai ancaman terhadap ideologi Pancasila. Keputusan itu dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Nah, dalam perkembangannya, pemerintah Orde Baru mengganti nama perayaan Tahun Baru China menjadi Imlek. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien. Dari kata Im, berarti bulan, dan lek, yang berarti kalender. Jadi, Imlek dapat diartikan sebagai kalender bulan. Akhirnya, istilah Imlek pun melekat sebagai sebutan sebagai kata gantik Tahun Baru China di Indonesia.

Siew-Min Sai dan Chang-Yau Hoon dalam buku Chinese Indonesians Reassessed (2013), perayaan tahun baru di China dikenal dengan istilah Sin Cia, yang diambil dari bahasa Mandarin. Namun, karena kebijakan pemerintah saat itu, istilah Sin Cia digantikan dengan Imlek, yang dianggap lebih netral dan dapat diterima dalam konteks budaya Indonesia.

Selama masa Orde Baru, masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak dapat merayakan Tahun Baru China dengan terbuka. Jika ingin tetap memperingatinya, mereka harus melakukannya secara diam-diam. Ruang ekspresi budaya Tionghoa menjadi sangat terbatas.

Kini, perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia begitu semarak dan meriah. Perubahan besar itu terjadi buah dari Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Begitu terpilih sebagai Presiden pada tahun 1999, harapan baru muncul bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dengan pandangannya yang inklusif dan toleran, Gus Dur melihat bahwa larangan perayaan Imlek bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Salah satu tindakan berani yang dilakukan Gus Dur adalah mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Dengan pencabutan ini, masyarakat Tionghoa akhirnya bisa merayakan Imlek secara terbuka dan bebas tanpa rasa takut. Imlek juga ditetapkan sebagai hari libur nasional. Langkah revolusioner yang menunjukkan sebuah komitmen dalam mewujudkan Indonesia yang plural dan toleran.

Keputusan Gus Dur untuk melegalkan perayaan Imlek memiliki dampak yang sangat signifikan bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Tidak hanya memberikan kebebasan untuk menjalankan tradisi budaya, tetapi juga memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Warisan Gus Dur ini menjadi tonggak sejarah penting dalam babakan perjalanan bangsa menuju masyarakat yang lebih inklusif dan toleran.

Sejak pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 oleh Gus Dur, banyak tokoh masyarakat Tionghoa yang memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas kebijakan inklusif tersebut. Pengakuan mereka terhadap peran Gus Dur tidak hanya terucap dalam pidato atau wawancara, tetapi juga terdokumentasikan dalam berbagai buku, artikel jurnal, dan media massa.

Dalam sebuah buku berjudul “Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia” karya Prof KH Said Aqil Siradj, pujian atas peran dan jasa besar Gus Dur dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Tionghoa, termasuk kebebasan merayakan Imlek. Gus Dur menjadi salah satu bapak bangsa yang mampu menyatukan umat beragama di Indonesia.

Banyak buku biografi Gus Dur yang juga mengulas secara detail mengenai kebijakan-kebijakannya, termasuk keberaniannya mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Dalam buku-buku itu banyak memuat kutipan dari para tokoh masyarakat Tionghoa. Mereka memberikan testimoni tentang dampak positif kebijakan tersebut.

Dalam setiapk kali peringatan Imlek, tokoh masyarakat Tionghoa seringkali menyampaikan pidato atau sambutan yang memuji Gus Dur sebagai tokoh yang sangat berjasa bagi komunitas mereka. Pidato-pidato ini biasanya direkam dan dipublikasikan di media massa.

Bukan tanpa alasan pujian atas jasa Gus Dur tersebut. Gus Dur memberikan kebebasan bagi masyarakat Tionghoa untuk menjalankan ibadah dan tradisi budaya mereka. Selain itu, kebijakan Gus Dur telah menciptakan rasa keadilan dan persamaan di antara semua warga negara Indonesia, tanpa memandang suku atau agama. Gus Dur juga menjadi simbol atau contoh nyata tentang bagaimana seorang pemimpin dapat mempromosikan nilai-nilai toleransi dan keberagaman.

Pengakuan tokoh masyarakat Tionghoa terhadap peran dan jasa besar Gus Dur itupun memiliki dampak dampak signifikan. Di antaranya, pertama, pengakuan ini memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan di antara berbagai kelompok masyarakat di Indonesia.

Kedua, apresiasi dari dunia internasional yang meningkatkan citra Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi. Ketiga, Gus Dur menjadi inspirasi bagi para pemimpin masa depan untuk terus memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan persamaan.

Kini, kita tinggal mewarisi nilai-nilai yang telah dicontohkan Gus Dur itu Selamat Hari Raya Imlek 2025. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.