KabarBaik.co – Suasana di sebuah rumah sederhana di kawasan eks lokalisasi Dolly, Surabaya, begitu semarak pagi itu. Di tengah ruangan, beberapa ibu-ibu dan pemuda terlihat sibuk memotong karton duplex, menempelkan lem G, dan menggunakan tang cucut untuk membentuk pola-pola cantik. Di antara mereka, Fitrah Lailatul Khoiriyah, seorang anggota UKM Kalsia, tersenyum bangga. “Saya baru ikut pelatihan ini sekali, tapi langsung bisa. Seru sekali, rasanya seperti menemukan dunia baru,” ujarnya penuh antusias.
Fitrah adalah salah satu peserta program penguatan Industri Rumah Tangga dan Usaha Mikro (IRT-UM) yang digagas oleh tim dosen lintas disiplin Petra Christian University (PCU). Program ini bertujuan membantu warga eks lokalisasi Dolly mengembangkan kreativitas mereka melalui teknologi tepat guna. Salah satu inovasi yang diperkenalkan adalah canting cap ramah lingkungan berbahan karton duplex.
“Kami ingin membantu mereka menciptakan motif batik baru yang ekonomis dan ramah lingkungan,” kata Dr. Aniendya Christianna, yang kerap dipanggil Nindy, ketua tim dosen PCU.
“Selama ini, canting batik cap biasanya berbahan tembaga, yang mahal dan memakan waktu lama untuk dibuat. Dengan karton duplex, semua jadi lebih cepat dan terjangkau, ” imbuhnya.
Dolly, yang dulu dikenal sebagai kawasan lokalisasi, kini bertransformasi menjadi pusat kerajinan batik yang unik. Namun, tantangan tetap ada. Para pengrajin sering kesulitan menciptakan motif baru yang sesuai dengan tren. Program ini menjadi jawaban atas tantangan tersebut. Dengan dukungan penuh dari Ditjen Dikti, inovasi canting ini membawa harapan baru bagi para pengrajin.
Pada sesi pertama pelatihan, peserta diajak membuat canting berukuran kecil, 10 x 10 cm. Awalnya, banyak yang ragu. “Masa iya karton bisa jadi canting? Saya kaget waktu pertama dengar,” ujar Fitrah sambil tertawa. Namun, setelah mencoba, semua keraguan hilang. Mereka mulai percaya diri, bahkan antusias mengeksplorasi motif-motif unik yang mencerminkan budaya khas Dolly.
“Dari pelatihan ini, mereka menghasilkan motif seperti batik gorengan, batik diesel, hingga batik anggur. Semua ini terinspirasi dari kehidupan sosial di Dolly,” jelas Nindy.
Batik diesel, misalnya, menggambarkan bagaimana dulu listrik kampung dihidupkan menggunakan mesin diesel. Sementara batik anggur terinspirasi dari tanaman yang tumbuh subur di sekitar mereka.
Setelah pelatihan membuat canting, tiba saatnya para pengrajin mengaplikasikan hasil karya mereka ke kain. Hari itu, selembar kain putih mulai dipenuhi warna-warna cerah. Setiap pola memiliki cerita, setiap goresan melukiskan harapan. “Kami ingin menunjukkan bahwa batik dari Dolly punya karakter yang kuat,” tambah Nindy.
Proses ini tidak hanya soal menciptakan batik, tetapi juga membangun semangat baru di kalangan warga. Dengan inovasi ini, mereka merasa mampu bersaing, bahkan di pasar yang lebih luas. “Dulu saya merasa sulit bersaing, tapi sekarang saya yakin produk kami bisa diterima di mana saja,” kata Fitrah.
Tak hanya itu, program ini juga mencakup aplikasi pencatatan keuangan digital untuk membantu pengelolaan usaha. “Kami ingin memastikan para pengrajin tidak hanya kreatif, tetapi juga mampu mengelola keuangan dengan baik,” ujar Adelina Proboyo, salah satu anggota tim dosen PCU.
Rangkaian kegiatan ini akan ditutup dengan pameran dan bazaar pada akhir bulan, di mana hasil karya peserta akan dipamerkan kepada publik. “Kami ingin mereka bangga dengan hasil kerja keras mereka,” kata Yohan Gunawan Henuk, anggota tim lainnya.
Program ini melibatkan banyak pihak dari berbagai bidang studi di PCU. Dari seni desain, bisnis, hingga manajemen keuangan. Semua bersatu demi satu tujuan: memberdayakan warga Dolly. “Ini bukan hanya tentang batik, tetapi juga tentang masa depan mereka,” tegas Mariana Ing Malelak, anggota tim.
Kini, di tangan para pengrajin eks Dolly, karton duplex sederhana menjadi simbol harapan. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik, lebih kreatif, dan lebih mandiri. “Mari kita lestarikan budaya dan kembangkan ekonomi kreatif bersama,” ujar Nindy menutup sesi pelatihan hari itu.
Dolly telah berubah. Di balik setiap kain batik yang dihasilkan, tersimpan cerita perjuangan dan keberanian untuk memulai sesuatu yang baru. Dengan semangat dan kerja keras, mereka membuktikan bahwa transformasi adalah mungkin. Dan di balik transformasi itu, sebuah canting karton menjadi saksi perubahan besar. (*)