Antara Mitos dan Tradisi: Mengungkap Larangan Makan Lele di Lamongan

oleh -149 Dilihat
Lamongan
Foto Pinterest

KabarBaik.co- Setiap daerah di Indonesia memiliki kisah unik yang diwariskan secara turun-temurun. Cerita-cerita ini sering kali membentuk tradisi dan kepercayaan yang masih dipegang erat oleh masyarakat setempat. Salah satu kisah menarik yang berasal dari Lamongan adalah larangan bagi sebagian warganya untuk mengonsumsi ikan lele. Meskipun kuliner khas Lamongan, seperti lele penyet, telah dikenal luas di seluruh Indonesia, namun ada sebagian masyarakat asli Lamongan yang justru tidak pernah menyentuh ikan lele.

Asal-Usul Larangan Makan Lele di Lamongan

Menurut cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi, pantangan ini berasal dari kisah perjalanan seorang tokoh agama, Sunan Giri III atau Sedamargo, yang melakukan pengembaraan di sepanjang aliran Bengawan Solo. Dalam perjalanannya, ia singgah di sebuah desa yang kini dikenal sebagai Desa Barang, Lamongan. Di sana, ia bertemu dengan seorang perempuan yang dikenal sebagai Mbok Rondo Barang dan sempat beristirahat di tempatnya.

kabarbaik lebaran

Setelah meninggalkan desa tersebut dan kembali ke Giri, Sunan Giri III baru menyadari bahwa keris pusakanya tertinggal di rumah Mbok Rondo. Untuk mengambilnya kembali, ia mengutus salah seorang pengikutnya, Ki Bayapati, agar kembali ke desa dan mengambil keris tersebut.

Namun, ketika Ki Bayapati sampai di rumah Mbok Rondo, ia memilih untuk masuk dengan diam-diam. Kejadian ini membuat Mbok Rondo terkejut dan berteriak, menyebabkan warga sekitar bergegas mengejarnya. Dalam upaya menyelamatkan diri, Ki Bayapati akhirnya melompat ke dalam sebuah kolam yang dipenuhi oleh ikan lele. Keberadaan ikan lele di kolam tersebut menjadi penyelamatnya, karena warga mengira ia telah tenggelam dan meninggal dunia.

Merasa berhutang budi atas keselamatannya, Ki Bayapati bersumpah bahwa dirinya serta keturunannya tidak akan pernah memakan ikan lele. Sumpah inilah yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, hingga akhirnya berkembang menjadi sebuah pantangan yang dianut oleh sebagian warga Lamongan.

Dampak Budaya dan Kepercayaan Masyarakat

Seiring berjalannya waktu, kepercayaan ini semakin mengakar kuat di tengah masyarakat. Bahkan, dalam beberapa perayaan atau acara tertentu yang melibatkan kuliner khas Lamongan, seperti penyetan, ada warga yang tetap berpegang teguh pada larangan tersebut.

Mitos yang berkembang menyebutkan bahwa mereka yang melanggar pantangan ini bisa mengalami gangguan kesehatan, seperti munculnya bercak putih di kulit, mirip dengan pola warna pada tubuh ikan lele. Meskipun belum ada bukti ilmiah yang mendukung kepercayaan ini, banyak warga asli Lamongan yang tetap mengikuti tradisi tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur mereka.

Tak hanya dalam kisah Ki Bayapati, kepercayaan terhadap ikan lele sebagai makhluk yang memiliki peran sakral juga ditemukan dalam sejarah Lamongan. Dalam Prasasti Jayanegara I atau Prasasti Walambangan, yang ditemukan di daerah tersebut, disebutkan bahwa masyarakat Lamongan kuno melakukan pemujaan terhadap Hyang Iwak atau ikan sakti. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, ikan memang memiliki nilai simbolis yang tinggi dalam budaya masyarakat setempat.

Kisah di balik larangan makan ikan lele bagi sebagian warga Lamongan bukan sekadar mitos, melainkan bagian dari warisan budaya yang terus hidup hingga saat ini. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita ini, kepercayaan tersebut telah menjadi bagian dari identitas masyarakat setempat.

Sebagai masyarakat modern, penting untuk menghargai tradisi dan kepercayaan yang telah diwariskan turun-temurun. Meskipun tidak semua orang memegang teguh pantangan ini, kisahnya tetap menjadi bagian dari sejarah lokal yang menarik untuk dipelajari dan dihormati. Pada akhirnya, semua kembali pada keyakinan masing-masing, namun yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga nilai-nilai budaya yang telah menjadi bagian dari perjalanan panjang sebuah daerah.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Penulis: Muhammad Ibrahim Al Fatich Purnomo
Editor: Lilis Dewi


No More Posts Available.

No more pages to load.