KabarBaik.co- Gunung Agung, dengan ketinggian mencapai 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl), bukan sekadar puncak tertinggi di Pulau Bali. Gunung ini merupakan simbol spiritual, pusat kosmologi, dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Hindu Bali. Berlokasi di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Gunung Agung menyimpan beragam mitos, tradisi, serta kisah mistis yang terus dipercaya hingga kini.
Gunung Agung dalam Kepercayaan Hindu Bali
Bagi masyarakat Hindu di Bali, Gunung Agung dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Dalam mitologi Hindu, gunung ini dianggap sebagai pecahan Gunung Meru, gunung suci yang menjadi poros keseimbangan antara langit dan bumi. Oleh karena itu, Gunung Agung memiliki posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat Bali, terutama dalam konsep spiritual kaja-kelod.
Konsep kaja-kelod mengatur bagaimana masyarakat Bali menyesuaikan kehidupan mereka dengan arah mata angin. Kaja, yang mengarah ke gunung, dianggap sebagai pusat kesucian, sementara kelod, yang mengarah ke laut, melambangkan dunia profan. Filosofi ini tidak hanya diterapkan dalam arsitektur pura dan bangunan rumah, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ritual keagamaan.
Pura Besakih: Keajaiban di Lereng Gunung Agung
Di kaki Gunung Agung berdiri Pura Besakih, pura terbesar dan paling suci di Bali. Pura ini dianggap sebagai tempat tinggal para dewa dan pusat kegiatan keagamaan umat Hindu Bali. Keajaiban terjadi saat letusan dahsyat Gunung Agung pada tahun 1963, ketika aliran lahar menghancurkan desa-desa di sekitarnya tetapi secara ajaib mengalir melewati Pura Besakih tanpa merusaknya. Peristiwa ini semakin menguatkan keyakinan masyarakat terhadap kesakralan gunung ini.
Selain Pura Besakih, terdapat 19 pura lain yang tersebar di lereng Gunung Agung. Setiap pura memiliki tujuan dan makna tersendiri dalam sistem kepercayaan masyarakat Bali. Ritual di pura-pura ini tidak pernah berhenti, menjadi bagian dari siklus kehidupan spiritual yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Mitos dan Misteri Gunung Agung
Sebagai gunung suci, Gunung Agung memiliki banyak mitos dan larangan yang dipercaya secara turun-temurun. Berikut beberapa kisah dan pantangan yang masih dipercaya hingga kini:
1. Larangan Membawa Daging Sapi
Sapi adalah hewan suci dalam agama Hindu, sehingga membawa daging sapi ke Gunung Agung dianggap sebagai tindakan yang menyinggung para dewa. Konon, mereka yang melanggar larangan ini akan mengalami kesialan selama pendakian.
2. Pantangan Mengenakan Pakaian Merah dan Hijau
Sama seperti larangan mengenakan pakaian hijau di Pantai Selatan Jawa, pendaki Gunung Agung juga dilarang memakai pakaian berwarna merah dan hijau. Masyarakat percaya bahwa warna merah disukai oleh penunggu Gunung Agung, sementara warna hijau adalah favorit penunggu laut. Mengenakan warna-warna tersebut dapat mengganggu keseimbangan spiritual dan mendatangkan hal buruk.
3. Wajib Membawa Bekal dalam Jumlah Genap
Mitos lain menyebutkan bahwa makanan yang dibawa ke Gunung Agung harus dalam jumlah genap. Jika membawa makanan dalam jumlah ganjil, dipercaya ada ‘sesuatu’ yang akan menambah atau mengurangi jumlah makanan tersebut secara misterius.
4. Larangan Memakai Perhiasan Emas
Konon, seorang pendaki pernah merasa lumpuh mendadak karena mengenakan perhiasan emas di Gunung Agung. Larangan ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap Ida Bhatara Lingsir, sosok gaib yang menjaga keutuhan gunung.
5. Kehadiran Kera Putih
Kera putih dianggap sebagai hewan suci dan utusan para dewa. Biasanya, mereka muncul saat ritual besar seperti Pujawali di Pura Pasar Agung atau saat Gunung Agung menunjukkan tanda-tanda aktivitas vulkanik. Kehadiran kera putih dipercaya sebagai pertanda baik bagi masyarakat.
6. Pendaki Harus Ditemani Orang Suci
Karena statusnya sebagai gunung suci, pendaki disarankan untuk ditemani oleh orang suci seperti pendeta atau pemangku adat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesakralan gunung serta memastikan pendakian berjalan dengan lancar tanpa gangguan spiritual.
7. Misteri Anjing Penunjuk Jalan
Pendaki yang memilih jalur Pura Besakih sering melaporkan keberadaan anjing-anjing yang seakan bertindak sebagai pemandu. Anjing-anjing ini dikatakan hanya menemani mereka yang memiliki niat baik dan akan membantu pendaki yang tersesat kembali ke jalur yang benar.
Pendakian dan Risiko Gunung Agung
Gunung Agung memiliki tiga jalur pendakian utama:
- Jalur Pura Besakih (Barat Daya) – Jalur terpanjang dengan medan yang berat, membutuhkan sekitar 6-7 jam untuk mencapai puncak.
- Jalur Pura Pasar Agung (Selatan) – Jalur lebih pendek dengan waktu tempuh sekitar 4-5 jam, namun hanya sampai puncak sekunder.
- Jalur Budakeling (Tenggara) – Jalur yang jarang digunakan dan cukup sulit ditempuh.
Pendakian ke Gunung Agung bukanlah hal yang mudah. Medan yang terjal dan cuaca yang tak menentu menjadi tantangan bagi para pendaki. Sejak 2009, setiap pendakian di jalur Sebudi maupun Besakih diwajibkan menggunakan jasa pemandu lokal untuk mengurangi risiko tersesat atau mengalami kecelakaan.
Gunung Agung bukan hanya sekadar gunung tertinggi di Bali, tetapi juga simbol keseimbangan dan spiritualitas yang dihormati oleh masyarakat Hindu Bali. Dari kisah-kisah mistis hingga keajaiban di Pura Besakih, gunung ini selalu mengundang rasa kagum dan ketakjuban.
Setiap letusan Gunung Agung, seperti yang terjadi pada tahun 1963 dan terakhir pada 2017, selalu dipandang sebagai peringatan untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam. Gunung ini mengajarkan pentingnya rasa hormat terhadap tradisi, keseimbangan spiritual, dan kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari semesta yang lebih besar.
Bagi siapa pun yang ingin mendaki Gunung Agung, bukan hanya kekuatan fisik yang dibutuhkan, tetapi juga kesadaran untuk menghormati nilai-nilai yang telah diwariskan turun-temurun. Sebab, di balik keindahannya yang megah, Gunung Agung tetaplah tempat suci yang dihormati dan dijaga oleh masyarakat Bali.