Dekan FH Universitas Islam Malang Kritisi UU Kejaksaan dan Rancangan KUHAP

oleh -278 Dilihat
WhatsApp Image 2025 02 13 at 18.09.06
Seminar nasional bertajuk ’Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa Urgensi Revisi Rancangan KUHAP dan Rancangan UU Kejaksaan dalam Bingkai Sistem Peradilan Pidana’ di Unisma Kota Malang. (Foto: P. Priyono)

KabarBaik.co – Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (FH Unisma) menggelar seminar nasional bertajuk ’Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa Urgensi Revisi Rancangan KUHAP dan Rancangan UU Kejaksaan dalam Bingkai Sistem Peradilan Pidana’. Kegiatan itu berlangsung di Gedung Abdul Rachman Wahid Lantai 7 Unisma, Kamis (13/2).

Dekan FH Unisma, Dr Arfan Kaimuddin, dalam pemaparannya menekankan bahwa perubahan regulasi hukum harus selalu menyesuaikan dengan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Hal itu tercermin dalam evolusi hukum acara pidana, mulai dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, hingga RKUHAP yang saat ini tengah menjadi perbincangan hangat dan menuai pro kontra.

Arfan menjabarkan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) pada dasarnya merupakan proses penegakan hukum pidana yang sangat erat kaitannya dengan perundang-undangan yang berlaku. “Criminal justice system adalah mekanisme penanggulangan kejahatan yang harus diterapkan dengan pendekatan sistematis,” jelas Arfan.

Mengutip pendapat Marjono, Arfan menjelaskan bahwa criminal justice system merupakan sistem pengendalian kejahatan yang melibatkan empat institusi utama, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. “Namun, dalam praktiknya, ketidakterpaduan antar-institusi sering kali menghambat efektivitas sistem peradilan pidana,” ujarnya.

Menurut Arfan, ketidakterpaduan dalam criminal justice system berdampak pada beberapa aspek krusial. Antara lain adanya kesulitan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan setiap institusi dan adanya hambatan dalam menyelesaikan permasalahan fundamental di masing-masing lembaga.

Arfan mengatakan, adanya tidakjelasan pembagian tanggung jawab berakibat pada kurangnya perhatian terhadap efektivitas sistem secara keseluruhan. Karena itu, diperlukan revisi pada rancangan KUHAP dan rancangan UU Kejaksaan. ”Agar dapat diminimalisir dan sistem peradilan pidana dapat berjalan lebih efektif tidak tumpang tindih kewenangan,” ujarnya.

Arfan menjelaskan tiga pendekatan utama dalam criminal justice system yang memerlukan adanya pendekatan normatife. Hal ini menempatkan aparatur penegak hukum dari keempat institusi (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum sebagai pelaksana perundang-undangan.

Sementara pendekatan administratif, Arfan memandang aparatur penegak hukum sebagai organisasi dengan mekanisme kerja yang terstruktur secara horizontal maupun vertikal sesuai dengan sistem administrasi yang berlaku. Pendekatan sosial, dengan menempatkan aparatur penegak hukum dalam sistem sosial yang melibatkan peran serta masyarakat dalam keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas penegakan hukum.

“Ketiga pendekatan ini tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi dan harus diterapkan secara bersamaan dalam pembenahan sistem peradilan pidana di Indonesia,” urainya.

Sebagai penutup, Arfan menegaskan, integrated criminal justice system harus menjadi solusi utama dalam mengatasi permasalahan sistem peradilan pidana di Indonesia. Sinkronisasi dalam sistem ini harus diterapkan dalam tiga aspek utama, sinkronisasi struktural, sinkronisasi substantial, sinkronisasi kultural.

”Ini sebagai wujud keselarasan vertikal dan horizontal dalam peraturan hukum positif dan menguatkan pemahaman dan kesadaran hukum di kalangan masyarakat serta aparatur penegak hukum sendiri,” papar Arfan.

Dengan demikian, lanjut Arfan, urgensi revisi rancangan KUHAP dan RUU Kejaksaan harus segera menjadi perhatian pemerintah dan para pemangku kepentingan. Dengan begitu, sistem peradilan pidana di Indonesia dapat berjalan lebih efektif, terintegrasi, dan tidak lagi mengalami tumpang tindih kewenangan antar-institusi hukum.

Selain Arfan, beberapa narasumber yang hadir dalam acara itu adalah guru besar FH UB Prof Dr I Nyoman Nurjaya, Wakil Rektor III Unisma Dr Moh Yunus MPd, dan Wakil Ketua Umum Peradi Dr H. Salih Mangara Sitompul SH, MH yang memberikan pandangan kritis terkait ketidakseimbangan kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.